Sejarah Peradilan Militer
PERADILAN MILITER BELANDA DI INDONESIA SEBELUM DAN SESUDAH PERANG DUNIA II
A. KRIJGSRAAD dan HOOG MILITAIR GERECHTSHOF
Sebelum Perang Dunia II, Peradilan Militer Belanda di tanah air dikenal dengan nama Krijgsraad dan Hoog Militair Gerechtshof . (Bepalingen Betreffende de Rechtsmacht van de Militaire Recher in Nederlands Indie, S. 1934 No. 173 dan De Provisionele Instructie voor het Hoog Militair Gerechtshof van Nedelands Indie, S. 1992 No. 163).
Peradilan ini ruang lingkupnya meliputi perbuatan pidana militer, anggota-anggotanya terdiri dari Angkatan Darat Belanda di Indonesia (Hindia belanda) yaitu KNIL dan anggota-anggota Angkatan Laut Belanda. Perlu diterangkan bahwa Angkatan Laut ini merupakan bagian integral dari AL Kerajaan Belanda (Koninklijke Marine = KM) sedangkan KNIL merupakan suatu organisasi sendiri, dalam arti terlepas dari Tentara Kerajaan Belanda (Koninklijke Leger = KL)
Dalam pasal 31 Indische Staats Regeling (Undang-undang ketatanegaraan di Hindia Belanda) disebut tentang ada hubungan tentang ketata-usahaan antara Angkatan Laut Belanda di Indonesia dengan Departemen van Marine negeri Belanda.
Atas perbedaan-perbedaan itu maka anggota-anggota Angkatan Darat Hindia Belanda (KNIL) diperiksa dan diadili oleh Krijgsraad (untuk tingkat pertama) dan Hoog Militair Gerechtshof (untuk tingkat banding), sedangkan anggota-anggota Angkatan Laut Belanda di Hindia Belanda (termasuk dalam KM) perkaranya diperiksa dan diadili oleh Zee Krijgsraad dan Hoog Militair Gerechtshof .
Krijgsraad terdapat di kota-kota Cimahi, Padang, Ujung Pandang dengan daerah hukum masing-masing yaitu untuk:
- Cimahi, meliputi Jawa, madura, Sumatra Selatan (Palembang, Bangka, Belitung, Riau, Jambi, Bengkulu, Lampung), Kalimantan, Bali, dan Lombok.
- Padang, meliputi Sumatra Barat, Tapanuli, Aceh dan Sumatra Timur.
- Ujungpandang, meliputi Sulawesi, Manado, Maluku dan Timor.
Krijgsraad bersidang untuk mengadili tiap perkara apabila ada panggilan sidang oleh Komandan Militer.
Susunan sidang Krijgsraad ialah seorang ketua (orang sipil-ahli hukum) dengan 4 (empat) orang anggota militer pangkat opsir dan diangkat untuk jabatan itu oleh Komandan Garnizun. jabatan Auditeur Militer (Oditur) dirangkap oleh seorang bukan militer (=sipil) yang diangkat oleh Gubernur Jendral.
Krijgsraad memeriksa dan mengadili perkara pidana pada tingkat pertama terhadap semua anggota militer dan orang-orang sipil yang bekerja di lingkungan kemiliteran, kecuali mereka yang pada instansi perama harus dihadapkan kepada Hoog Militair Gerchtshof .
Sedangkan badan pengadilan yang akhir ini ( Hoog Militair Gerchtshof ) merupakan pengadilan militer instansi kedua dan tertinggi di Hindia Belanda serta bertempat kedudukan di Jakarta.
Hoog Militair Gerchtshof (HMG) bila bersidang terdiri dari 5 (lima) orang (sidang Hakim Majelis) yaitu 2 (dua) orang yang ahli hukum (seorang akan bertindak sebagai Ketua) dan 3 (tiga) orang Opsir Tinggi/Menengah (2 dari Angkatan Darat (KNIL) dan 1 dari Angkatan Laut Belanda (KM) baik yang masih dinas aktif atau pun sudah pensiun). Seorang Advocaat Fiscaal Generaal pada Hoog Militair Gerchtshof bertindak sebagai Penuntut Umum . Ia diangkat oleh Gubernur Jendral, wakilnya disebut Advocaat Fiscaal . Pada HMG ada seorang Panitera .
Hoog Militair Gerchtshof (HMG), pada tingkat pertama mengadili perkara pidana yang dilakukan oleh anggota militer yang berpangkat lebih tinggi dari Kapten. Pada tingkat ke dua, HMG mengadili perkara banding yang diajukan terhadap putusan Krijgsraad .
B. ZEE KRIJGSRAAD
Badan ini mengadili perkara pidana yang dilakukan oleh anggota Angkatan Laut Belanda (Koninklijke Marine) yang berada di luar negeri Belanda. Anggota-anggota badan tersebut terdiri daripada opsir-opsir AL Belanda dan biasanya bersidang di atas geladak kapal perang.
Di Hindia Belanda pada waktu itu, badan pengadilan bersangkutan dipanggil bersidang oleh Komandan (tertinggi) Angkatan Laut Belanda. Seorang opsir tata usaha dari Angkatan Laut ditunjuk sebagai penuntutan umum di daerah Hindia belanda dulu.
Hoog Militair Gerchtshof , merupakan Badan Pengadilan Banding bagi Zee Krijgsraad . HMG juga mengadili pada tingkat pertama perkara-perkara pidana yang dilakukan oleh opsir AL Belanda berpangkat lebih tinggi dari Letnan Laut Kelas 1.
Pada zaman setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, ketentuan mengenai pernyataan dalam keadaan bahaya bekas daerah Hindia Belanda dari tanggal 10 mei 1940, tetap dinyatakan berlaku oleh pemerintah pendudukan Belanda terhadap daerah-daerah yang dikuasainya.
Dengan demikian, penguasa Belanda di Jawa – Madura maupun di luar daerah bersangkutan mengadakan Temraire Krijgsraad , yaitu Mahkamah Militer Sementara yang diberi wewenang pula mengadili tindak pidana yang oleh orang-orang bukan militer serta bukan digolongkan dalam bangsa Indonesia, apabila ancaman hukumannya ialah lebih dari 15 (lima belas) tahun, sedang pemeriksaan dilakukan oleh Majelis Hakim yang terdiri dari 3 (tiga) orang. Oditurnya ialah biasanya dari Jaksa Landgerecht . Dapat dikemukakan bahwa Mahkamah Militer Sementara (Belanda) itu bersidang dengan Majelis Hakim, sedangkan Pengadilan Negerinya melakukan sidang dengan sistem Hakim Tungga .
SEJARAH PERADILAN MILITER DI INDONESIA
Lintasan sejarah peradilan militer tersebut dapat dilihat dalam beberapa periode sbb:
Periode Tahun 1945
Pada masa ini Peradilan Militer di Indonesia masih mengadopsi ketentuan pemerintah zaman penjajahan Belanda yaitu Kijgsraad (berdasarkan Bepalingen betreffendetie rechtsmacht van de Militaire rechter in Nederland Indie S.I934 No.173 ) yang berfungsi sebagai hukum acara dalam memeriksa dan mengadili perkara pidana pada tingkat pertama terhadap semua anggota militer dan orang sipil yang bekerja di lingkungan kemiliteran .Adapun dasar hukum yang digunakan adalah Pasal 2 Ketentuan Peralihan UUD 1945 yang berbunyi : Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini .
Periode Tahun 1946-1948
Pada periode ini, pemerintah telah mengundangkan Undang-undang No.7 Tahun 1946 dalam Pasal 22 menyatakan : Mengadakan peradilan tentara selain pengadilan biasa dan berdasarkan ketentuan Pasal 5 Pengadilan Tentara diberi kewenangan juga mengadili perkara Koneksitas, pada saat bersamaan diundangkan Undang-undang No.8 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Acara Pidana Pengadilan Tentara.
Sesuai dengan kebutuhan pada saat itu Undang-undang No.7 Tahun 1946 diganti dengan Peraturan Pemerintah No.37 Tahun 1948 tentang Susunan dan Pengadilan/Kejaksaan dalam lingkungan Pengadilan Ketentaraan , dan selanjutnya dibentuk Peradilan khusus di lingkungan ketentaraan yaitu Mahkamah Tentara Sementara, dan Mahkamah Tentara Daerah Terpencil.
Mahkamah Tentara Luar Biasa, dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 5 Tahun 1946 dan Peraturan Pemerintah No.4 Tahun 1947 yang bertujuan untuk mempermudah berlangsungnya Peradilan Tentara di beberapa daerah masih sangat rawan dan kurang kondusif.
Mahkamah Tentara Sementara, dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 1947 Mahkamah ini menunjukan Pengadilan Negeri yang merangkap menjadi Pengadilan Tentara Luar Biasa, mengingat tidak semua daerah telah dibentuk Mahkamah Tentara, dan keterbatasan Hakim Militer/tenaga ahli.
Mahkamah Tentara Daerah Terpencil, dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintahan No.23 Tahun 1947, Mahkamah ini dibentuk di daerah terpencil secara nyata dalam suatu daerah pertempuran.
Periode Agresi Ke-2 Tahun 1948
Pada masa Agresi kedua setelah tanggal 19 Desember 1948, berdasarkan Peraturan Darurat Tahun 1949 No.46/MBKD/49 Tanggal 7 Met 1949, maka untuk mewujudkan kebutuhkan pada waktu itu pemerintah membebankan tugas kepada Peradilan Tentara menyelenggarakan Peradilan Tentara dan Peradilan Sipil berlaku untuk seluruh Jawa dan Madura bagi anggota Angkatan Perang dan bagi orang Sipil. Kewenangan yang diberikan pada Pengadilan Tentara pada waktu itu meliputi Pengadilan Tentara Pemerintah Militer, Pengadilan Sipil Pemerintah Militer, Mahkamah Tentara Luar Biasa, dan kewenangan menjalankan hukuman penjara.
Periode RIS Tahun 1949-1950
Pada masa pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS) berdasarkan Undang-undang No.6 Tahun 1950 yang mempertegas lagi Kompetensi Peradilan Militer yang antara lain menyatakan masih berlakunya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No.36 Tahun 1949 tentang Penghapusan Peraturan Darurat No.46/MBKD/49 dan menghidupkan kembali Pengadilan Tentara yang ada sebelum tanggal 7 Met 1949, serta berlakunya kembali Peraturan Pemerintah No.37 Tahun 1948 tentang Susunan dan Kekuasaan Pengadilan/Kejaksaan dalam lingkungan Pengadilan Tentara. Dengan demikian, sejak berlakunya Undang-undang No.6 Tahun 1950 secara Konstitusional keberadaan Peradilan Militer dapat dikatakan telah memiliki dasar hukum yang kuat.
Periode UUDS Tahun 1950-1959
Pada masa ini dikeluarkan Undang-Undang Darurat No. 1 Tahun 1951 tanggal 15 Maret 1951 tentang Tindakan-tindakan sementara untuk menyelenggarakan kesatuan susunan, kekuasaan dan acara pengadilan sipil , sehingga kedudukan Hukum (wilayah hukum) Pengadilan Militer pada umumnya sama dengan kedudukan (wilayah hukum) Peradilan Umum.
Pada periode ini terjadi integrasi pertama antara Pengadilan Militer dan Pengadilan Sipil, sebab saat itu jabatan-jabatan pada Tata Usaha Militer dirangkap juga oleh pegawai dari Peradilan Umum, disebabkan masih kurangnya tenaga ahli dari lingkungan Peradilan Militer.
Selanjutnya diundangkan Undang-undang No. 29 Tahun 1954 tentang Pertahanan Negara, dalam pasal 35 menyatakan : Angkatan perang mempunyai peradilan tersendiri, sehingga hal ini lebih mempertegas eksistensi Peradilan Milter yang berdiri sendiri dan terlepas dari peradilan lain.
Periode Tahun 1959 – 1966
Pada periode ini dikenal Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 yaitu kembali UUD 1945 secara Mumi dan Konsekuen, sehingga untuk melaksanakan ketentuan Pasal 24 UUD 1945 yang mengatur kekuasaan kehakiman telah diundangkan Undang-undang No. 19 Tahun 1964 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Dalam ketentuan Pasal 7 UU No. 19 Tahun 1964 disebutkan Bahwa kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara, dan semua pengadilan berpuncak pada Mahkamah Agung yang merupakan Pengadilan Tertinggi semua lingkungan peradilan.
Peradilan tersebut secara teknis berpuncak pada Mahkamah Agung dan secara administratif pada saat itu berada dibawah departemen masing-masing (Dep. Kehakiman, Dep. Agama, dan Dep. Hankam). Pada waktu itu, Panglima Angkatan setingkat dengan Mentri Negara, sehingga masing-masing Panglima Angkatan membentuk Peradilan sendiri, yaitu Peradilan Militer Angkatan Darat, Peradilan Militer Angkatan Laut Peradilan Militer Angkatan Udara, sehingga Peradilan Militer pada saat itu belum terintegrasi, dan berada dibawah langsung Panglima dari masing-masing angkatan.
Periode 11 Maret 1966-1970
Dalam rangka pemurnian pelaksanaan UUD 1945, sesuai dengan Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No. XIX/MPRS/1966 jo. TAP MPRS No. XXXIX/MPRS/1968 maka pemerintah bersama DPRGR telah mengadakan peninjauan terhadap UU No. 19 Tahun 1964, karena dianggap tidak melaksanakan pemurnian Pasal 24 UUD 1945.
Selanjutnya berdasarkan Undang-undang No. 5 Tahun 1969 dibentuk Peradilan Khusus Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub), pengadilan khusus ini dibentuk untuk menyidangkan perkara-perkara yang dianggap membahayakan keamanan bangsa dan negara, dan memerlukan penyelesaian dengan segera.
Hal ini disebabkan perkara tersebut sangat erat kaitannya dengan kebijakan pemerintah dibidang pertahanan dan keamanan, seperti peristiwa G-30-S/PKI. Disamping itu, pemerintah telah mengganti UU No. 19 Tahun 1964 dengan Undang-undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang berpegang pada asas peradilan bebas dan menetapkan 4 (empat) lingkungan kekuasaan peradilan, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara.
Berdasarkan lintas sejarah Peradilan Militer tersebut, maka keberadaan Peradilan Militer tidak benar baru masuk dalam konstitusi setelah berlakunya UU No. 14 Tahun 1970, sebab Peradilan Militer berkembang sejalan dengan sejarah konstitusi yang berlaku di negara kita, dan bersifat mandiri terlepas dari peradilan lain. Kedudukan Peradilan Militer tidak saja setara dengan peradilan lain, tapi juga memiliki kewenangan yang terpisah dengan peradilan lainnya.
Perkembangan Peradilan Militer secara Internal
Perkembangan secara internal lingkungan Peradilan Militer dimulai sejak diundangkannya Undang-undang No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, hal ini dapat kita lihat pada penyelenggaraan fungsi (fungsi penyidikan, penuntutan, dan pengadilan), disamping yurisdiksi, dan kompetensi yang dimiliki.
Fungsi penyidikan ; sebelumnya dilaksanakan oleh Polisi Militer Gabungan dari 3 angkatan, dalam perkembangannya berikutnya dilaksanakan, oleh Polisi Militer Angkatan Darat, dan sekarang dilaksanakan di masing-masing angkatan yaitu Polisi Militer Angkatan Darat, Polisi Militer Angkatan Laut dan Polisi Militer Angkatan Udara.
Kewenangan penyidikan pada masing-masing angkatan tersebut bertujuan untuk mempermudah pengawasan terhadap tindak pidana yang dilakukan setiap prajurit dari masing-masing matra, sehingga dapat lebih efektifdan tidak menimbulkan keterlambatan penyelesaian suatu perkara.
Fungsi penuntutan ; dilaksanakan oleh institusi TNI yang berada dalam wadah Oditurat Jenderal TNI, dan dalam Pokok-Pokok Organisasi dan Prosedur (POP) Babinkum TNI Oditurat Jenderal TNI dibawah Badan Pembinaan Hukum TNI sebagai badan pelaksana pusat.
Fungsi pengadilan dilaksanakan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer, termasuk didalamnya melaksanakan fungsi penyelesaian perkara Tata Usaha Militer, dan koneksitas.
Yurisdiksi Peradilan Militer; dapat kittflihat dalam Pasal 9 UU No. 31 Tahun 1997 yang menyatakan :
1. Mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh :
a. Prajurit TNI;
b. Orang yang dipersamakan dengan prajurit berdasarkan undang- undang;
c. Anggota suatu jawatan atau golongan atau badan yang dipersamakan atau dianggap sebagai prajurit berdasarkan undang-undang ;
d .Orang yang atas Putusan Panglima TNI dengan persetujuan Menteri Kehakiman hams diadili oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan
2. Memeriksa, memutus dan menyeselaikan sengketa Tata Usaha Militer,
3. Menggabungkan perkara gugatan ganti rugi dalam perkara pidana yang bersangkutan atas permintaan dari pihak yang mengalami .kerugian akibat tindak pidana yang menjadi dasar dakwaan . Yurisdiksi Peradilan Militer juga telah dikembangkan menjadi
4(empat) strata,dan secara formal memiliki kewenangan masing-masing yaitu Pengadilan Militer (Dilmil), Pengadilan Militer Tinggi (Dilmiiti), Pengadilan Militer Utama (Dilimiltama) dan Pengadilan Militer Pertempuran (Dilmilpur). Adapun yurisdiksi masing-masing pengadilan tersebut sebagai berikut:
l. Pengadilan Militer merupakan pengadilan tingkat pertama bagi prajurit berpangkat Kapten ke bawalx.(sampai dengan bintara dan tantama);
2. Pengadilan Militer Tinggi merupakan pengadilan tingkat pertama bagi prajurit berpangkat Mayor ke atas (sampai Perwira Tinggi / Jenderal / Laksamana / Marsekal TNI ), dan sebagai Pengadilan Tingkat Pertama memeriksa Gugatan Tata Usaha Militer,disamping menjadi Pengadilan Tingkat Banding atas perkara tingkat pertama yang diputus oleh Pengadilan Militer.
3. Pengadilan Militer Utama;ad&ah Pengadilan Tingkat Banding terhadap perkara yang diputus pada tingkat pertama oleh Pengadilan Militer tinggi (Pidana dan Tata Usaha Militer);
4. Pengadilan Militer Pertempuran; berdasarkan ketentuan Pasal 45 UU Nomor : 31 Tahun 1997 adalah Pengadilan Tingkat Pertama dan Terakhir terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh prajurit di daerah pertempuran.
Pengadilan Militer Pertempuran merupakan organisasi kerangka yang dibentuk bersifat indsidentil sesuai dengan kebutuhan daerah pertempuran. Pengadilan Militer Pertempuran selain tidak mengenal pemeriksaan tingkat banding juga tidak mengenal strata kepangkatan sebagaimana ditentukan pada Pengadilan Militer, Pengadilan, Militer Tinggi, dan Pengadilan Militer Utama.
5. Pengadilan Militer Tinggi memiliki kewenangan : – Memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Militer dalam hal ini sebagai Pengadilan Tingkat Pertama; – Memeriksa dan memutuskan (pada tingkat pertama dan terakhir) sengketa kewenangan mengadili antara Pengadilan Militer yang berada dalam daerah hukumnya.
6. Pengadilan Militer Utama, selain menjadi Pengadilan Tingkat Banding atas perkara pidana maupun* sengketa Tata Usaha Militerjuga mempunyai kekuasaan untuk memutuskan pada tingkat pertama dan terakhir sengketa wewenang mengadili:
– Antar Pengadilan Militer yang berkedudukan di daerah hukum Pengadilan Militer Tinggi yang berada;
– Antar Pengadilan Militer Tinggi;
– Antar Pengadilan Militer Tinggi dan Pengadilan Militer;
– Memutus perbedaan pendapat antara Oditur Militer dan Papera. Perkembangan Internal dalam lingkungan Pengadilan Militer, telah menetapkan Daerah Hukum Peradilan Militer berdasarkan Keputusan Panglima TNI No. Kep /06/X/2003 Tanggal 20 Oktober 2003 tentang Nama, Tempat Kedudukan dan Daerah Hukum Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi dan Pengadilan Pertempuran.
Dimana saat ini jumlah Pengadilan Militer di seluruh Indonesia ada 19 ( sembilan belas ) Pengadilan Tingkat Pertama ( Pengadilan Militer ) berkedudukan di Aceh, Medan, Padang, Palembang, Banjarmasin, Balikpapan, Samarinda, Jakarta, Semarang, Yogyakarta, Surabaya , Madiun , Denpasar , Kupang , Ambon , Makasar , Manado dan. Irian , 3 (tiga ) Pengadilan Banding ( Pengadilan Militer Tinggi ) berkedudukan di Medan , Jakarta , dan Surabaya . 1 ( satu ) Pengadilan Tingkat Banding (Pengadilan Militer Utama) berkedudukan di Jakarta.
Perkembangan Peradilan Militer Secara Eksternal
Perkembangan secara ekstemal Peradilan Militer tidak terlepas dari wacana Peradilan Satu Atap di bawah Mahkamah Agung RI sebagai amanah yang di tentukan dalam Pasal 24 ayat (1) dan (2) UUD 1945 yang menyatakan Bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka guna menegakkan hukum dan keadilan .
Kekuasaan Kehakiman tersebut dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama , Peradilan Militer , Peradilan Tata Usaha Negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi .
Adapun yang dimaksud satu atap adalah suatu sistem yang menyatukan kewenangan pengelolaan aspek organisasi , administrasi , dan finansial peradilan berada di Mahkamah Agung RI terlepas dari campur tangan dari pemerintah sebelumnya dilaksanakan oleh Deparlemen Kehakiman , Deparlemen Agama dan Mabes TNI.
Peradilan satu atap mulai terwujud sejak diundangkannya UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagai penjabaran Pasal 11 UU No. 35 Tahun 1999 yang telah merubah UU No.14 Tahun 1970 .
Secara riil , perkembangan ekstemal Peradilan Militer juga dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 42 UU No.4 Tahun 2004 menyebutkan pengalihan organisasi , administrasi , dan finansial harus telah selesai dilaksanakan paling lambat tanggal 30 Juni 2004 , dimana pelaksaannya melalui Keputusan Presiden paling lambat 60 hari sebelum tanggal 9 Juli 2004.
Secara fisik penyerahan baru dilaksanakan tanggal 1 September 2004 dengan ditandatanganinya berita acara serah terima oleh Panglima TNI dan Ketua Mahkamah Agung RI . Sebagai akibat yuridisnya semua Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Peradilan Militer menjadi Pegawai Negeri Sipil Mahkamah Agung sehingga pembinaan personil bagi eks Pegawai Sipil Peradilan Militer menjadi tanggung jawab Mahkamah Agung.
Meskipun secara yuridis sudah terjadi refbrmasi ekstemal dari Pearadilan Militer, namun samparsaat ini kerangka organisasi Pengadilan Militer masih menggunakan kerangka organisasi yang lama berdasarkan Keputusan Pangab No. Kep / 01 / 1984 tanggal 30 Oktober 1984 dan Kep / 06 / II /1988 tanggal 27 Februari 1988.
Hal yang cukup penting dari perkembangan ekstemal dari Peradilan Militer dengan ditandatanganinya keputusan bersama antara Panglima TNI dengan Ketua Mahkamh Agung RI No. KMA / 065A / SKB / IX / 2004 dan SKEP No.420/lX/2004 , yang mengatur mengenai pembinaan personil TNI, penggunaan serta perawatan aset TNI dan barang inventaris yang sampai saat ini masih ada sebahagian digunakan antara lain kantor Pengadilan Militer masih bergabung dalam satu atap dengan kantor Oditurat TNI , walaupun saat ini di beberapa daerah seperti Jakarta , Yogyakarta , Surabaya , dan Medan sedang dibangun kantor Peradilan Militer baru.
Perkembangan Peradilan Militer di Masa Datang
Perkembangan Peradilan Militer di masa datang berkaitan dengan wacana pembatasan Kompetensi Peradilan Militer, yang bergulir setelah adanya TAP-MPR No. VII / MPR / 2000 , yang menyatakan Bahwa prajurit TNI yang melakukan tindak pidana umum diadili di Peradilan Umum . Tap MPR tersebut tersurat dalam Pasal 65 ayat (2) jo . Pasal 74 UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI, yang merupakan saduran tanpa perubahan dari Pasal 3 ayat(4) Tap MPR diatas.
Wacana tersebut sebenamya juga tidak terlepas dari aplikasi peradilan satu atap yang selanjutnya berimbas untuk dilakukannya perubahan terhadap UU No.31 Tahun 1997 tenlang Peradilan Militer . Adapun beberapa pokok pikiran yang menjadi dasar pengajuan RUU Peradilan Militer dituangkan dalam RUU Pansus DPR tanggal 27 Mei 2005, dan ditindaklanjuti dengan surat dari Ketua DPR RI No. RU. 02 / 6720 / DPR-RI / 2005 tanggal 28 September 2005 yang mengajukan usul inisiatif perubahan UU Peradilan Militer kepada Presiden dengan substantif antara lain :
1. Undang-Undang RI No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menetapkan bahwa pembinaan organisasi dan finansial Pengadilan Militer berada di bawah Mahkamah Agung . Dengan demikian kedudukan Pengadilan Militer yang semula di bawah Mabes TNI menjadi di bawah Mahkamah Agung .
2. Tap MPR RI No. VII/ MPRI/ 2000 tentang Pemisahan TNI dan Poiri serta Tap MPR RI No. VII/ MPRI/ 2000 tentang Peran TNI dan Poiri mendasari usul DPR melakukan perubahan mengganti frase Angkatan Bersenjata menjadi Tentara Nasional Indonesia dan memisahkan Poiri dari Kompetensi Peradilan Militer sebagaimana ditentukan dalam UU No. 31 Tahun 1997 , sehingga Poiri yang dulunya diadili di Peradilan Militer sekarang diadili di Peradilan Umum .
3. Berdasarkan pengamatan DPR kompetensi Peradilan Militer yang diatur dalam UU No. 31 Tahun 1997 , dalam menyelenggarakan Peradilan Militer dan menegakkan hukum perlu dilakukan perubahan, sehingga kewenangan Peradilan Militer perlu dibatasi hanya mengadili tindak Pidana Militer yang dilakukan oleh prajurit atau yang berdasarkan Undang-undang dipersamakan dengan prajurit.
4. Dengan adanya usul perubahan kewenangan Pengadilan Militer tersebut, maka ketentuan tentang Penasihat Hukum digantikan oleh Advokat dan tata cara pemeriksaan Koneksitas yang terdapat dalam UU No. 31 Tahun 1997dihapus. Sikap wakil rakyat di DPR terhadap pembatasan kompetensi Peradilan Militer juga tercermin pada saaf diadakan pandangan fraksi dalam rapat paripuma DPR tanggal 21 Juni 2005, beberapa fraksi antara lain menyatakan Adanya kesan Pengadilan-Mliter dalam menjatuhkan sanksi terhadap anggota militer belum memuaskah dan terlalu ringan , disamping itu pengadilan militer terkesan tertutup . Pandangan tersebut sebenamya disebabkan kurangnya pengetahuan publik terhadap persidangan di pengadilan militer yang sama dengan pengadilan lain bersifat terbuka, sedangkan sanksi yang dijatuhkan adalah menjadi kewenangan Hakim, yang mungkin ditinjau dari rasa keadilan belum memuaskan pencari keadilan dan masyarakat.